Senin, 28 Oktober 2013

KONSEP KELUARGA DALAM AL-QUR’AN



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam sebuah tatanan masyarakat. Oleh karena masyarakat adalah himpunan dari beberapa keluarga maka baik buruknya sebuah masyarakat sangat bergantung kepada baik buruknya keluarga. Keluarga yang baik adalah awal dari masyarakat yang sejahtera. Sebaliknya, keluarga yang amburadul adalah pertanda hancurnya sebuah masyarakat. Individu-individu yang baik akan membentuk keluarga yang harmonis.
Keluarga-keluarga yang harmonis akan mewujudkan masyarakat yang aman dan damai. Selanjutnya masyarakat-masyarakat yang damai akan mengantarkan kepada negara yang kokoh dan sejahtera. Maka, jika ingin mewujudkan negara yang kokoh dan sejahtera bangunlah masyarakat yang damai. Dan jika ingin menciptakan masyarakat yang damai binalah keluarga-keluarga yang baik dan harmonis.
Mengingat begitu pentingnya peranan keluarga dalam menciptakan masyarakat yang baik dan sejahtera maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar pada pembinaan keluarga. Karena -seperti disinggung di atas- seandainya instrumen terpenting dalam masyarakat ini tidak dibina dengan baik dan benar, adalah mustahil mengharapkan terwujudnya sebuah tatanan masyarakat idaman.
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang menerangkan konsep di dalam membangun keluarga yang sejahtera. Al-Quran menginginkan semua manusia dan umat Islam khususnya hidup berumah tangga yang bahagia seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW.
B.   Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembaca memahami isi makalah, kami kemukakan rumusan masalah dari makalah ini, yakni menjelaskan konsep al-Qur’an dalam membangun keluarga yang sejahtera serta membandingkan dengan beberapa teori sosial Struktural Fungsional dan Konflik Sosial.
 BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Keluarga
Pembicaraan mengenai keluarga akan dibatasi pada keluarga batih. Keluarga batih terdiri dari suami/ayah, istri/ibu dan anak-anak yang belum menikah. Lazimnya dikatakan, bahwa kelurga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat.[1]
Sebagai unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat, keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu. Peranan-peranan itu adalah sebagai berikut:[2]
1.    Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, di mana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.
2.    Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya.
3.    Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.
4.    Keluaraga batih merupakan wadah di amana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dari beberapa penjelasan keluarga di atas, nyatalah betapa pentingnya keluarga batih terutama bagi perkembangan kepribadian seseorang. Gangguan pada pertumbuhan kepribadian seseorang mungkin disebabkan pecahnya kehidupan keluarga batih secara fisik maupun mental.[3]
B.   Ayat-ayat Keluarga dalam al-Qur’an
1.    Surat Tahaa Ayat 132
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)­G=Ï9 ÇÊÌËÈ  
Artinya: dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, kamilah yang memberi rezeki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.[4]

Arti Kosa Kata
  7n=÷dr&
Keluarga
ŽÉ9sÜô¹$#
Bersabarlah
Ÿw y7è=t«ó¡nS
Kami tidak meminta kepadamu
$]%øÍ
Rezeki

Setelah ayat sebelumnya memerintahkan untuk menyucikan diri melalui shalat dan bertasbih memuji Allah, serta tidak mengarahkan pandangan kepada kenikmatan duniawi guna meraihnya dengan mengorbankan kenikmatan ukhrawi, kini hal serupa diperintahkan untuk disampaikan kepada keluarga.
Dapat juga dikatakan bahwa pada ayat sebelumnya disebut tentang azjaw yang dapat berarti pasangan dan bahwa orang-orang kafir memiliki pasangan-pasangan yang mereka nikmati sebagai hiasan hidup, maka di sini disebut pasangan orang-orang beriman dan keluarganya. Kenikmatan dari kehadiran mereka dalam satu rumah tangga diperoleh melalui hubungan harmonis dengan Allah yang tercermin antara lain dalam pelaksanaan sholat. Karena itu ayat ini memerintahkan nabi dan setiap kepala keluarga muslim bahwa dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan sholat secara baik dan bersinambung pada setiap waktunya dan bersungguh-sungguhlah engkau wahai Nabi Muhammad dalam bersabar atasnya, yakni dalam melaksanakannnya. Kami tidak meminta kepadamu rezeki dengan perintah shalat ini, atau Kami tidak membebanimu untuk menanggung rezeki bagi dirimu dan keluargamu, Kami-lah yang memberi jaminan rezeki kepadamu. Dan kesudahn yang baik di dunia dan akhirat adalah bagi orang-orang yang menghiasi dirinya dengan ketakwaan.
Kata (7n=÷dr&) ahlaka/keluarga jika ditinjau dari masa turunnya ayat ini, maka ia hanya terbatas pada istri beliau Khadijah ra. Dan beberapa putra beliau bersama Ali bin Abi Thalib yang beliau pe,uhara sepeningga Abu Thalib. Tetapi bila dilihat dari penggunaan kata ahlaka yang dapat mencakup keluarga besar, lalu menyadari perintah tersebut berlanjut sepanjang hayat, maka ia dapat mencakup keluarga besar Nabi Muhammad termasuk semua istri dan anak cucu beliau. Bahkan sementara ulama memperluasnya sehingga mencakup seluruh umat beliau. Putra kandung nabi Nuh as. Tidak dinilai Allah sebagai ahl/keluarga beliau dengan alasan tidak beramal shaleh (baca QS. Hud 46). Dengan demikian, semua yang beramal shaleh dapat dinilai termasuk keluarga beliau dank arena itu pula, Salman al-Farisi yang tidak memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad saw. bahkan bukan orang Arab, tetapi dari Persia, dijadikan Nabi Muhammad saw. sebagai ahl/keluarga dengan sabdanya: “Salman dari (keluarga) kita, ahl al-Bait,” Ini karena keimanan dan kesalehan beliau.[5]
2.    Surat at-Tahrim Ayat 6-7
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ   $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿw (#râÉtG÷ès? tPöquø9$# ( $yJ¯RÎ) tb÷rtøgéB $tB ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÐÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.

Arti Kosa Kata
(#þqè% ö/ä3|¡àÿRr&
Peliharalah dirimu
ÔâŸxÏî
Kasar
׊#yϩ
Keras-keras
b÷rtøgéB
Dibalas

Dalam suasana peristiwa yang terjadi yang di rumah tangga Nabi saw seperti diuraikan oleh ayat-ayat sebelumnya, ayat di atas memberi tuntunan kepada kaum beriman bahwa: Hai orang-orang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani Nabi dan pelihara juga keluarga kamu yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala. Di atasnya yakni yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksankan tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan -kendati mereka kasar- tidak kurang dan tidak juga berlebih dari apa yang yang diperintahkan oleh Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.
Dalam penyiksaan itu, para malaikat tersebut senantiasa juga berkata: Hai orang-orang kafir yang enggan mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu mengemukakan uzur yakni mengajukan dalih untuk memperingan kesalahan dan siksa kamu pada hari ini. Karena kini bukan lagi masanya untuk mmemohon ampun atau berdalih, ini adalh masa jaatuhnya sankksi, sesungguhnya kamu saat ini hanya diberi balasan sesuai apa yang kamu dahulu ketika hidup di dunia selalu kerjakan.
Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua oraang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga terhadap pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.[6]
C.  Analisis Keluarga dalam Teori Sosial
1.    Perspektif Teori Struktural Fungsional
Struktural Fungsional berpendapat bahwa Sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung[7].
Struktural Fungsional sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari sistem listrik, atau sistem sosial, yang mengartikan bahwa fungsionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena sistem cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.
Penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti (meaning) yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah.
Menurut pendukung teori ini, harmoni dalam pembagian dan penyelenggaraan fungsi-peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak, kewajiban, dan nilai-nilai bersama ini merupakan kondisi utama bagi berfungsinya keluarga. Sebaliknya, keluarga yang tidak bisa berfungsi dengan baik, karena tiadanya kondisi-kondisi tersebut akan menjadi produsen utama anak-anak bermasalah.
Untuk melaksanakan fungsinya secara optimal, yakni meningkatkan derajat “fungsionalitas”nya, keluarga harus mempunyai struktur tertentu. Struktur adalah pengaturan peran di mana sebuah sistem sosial tersusun. Istilah “sistem sosial” sangat krusial bagi fungsionalis, yang merupakan konstruk yang lebih luas di bawah struktur sehingga terjadi pengaturan peran. Suatu sistem seperti keluarga mampunyai jenis peran yang berbeda. Pertama, sistem sosial seperti keluarga mempunyai peran “yang dibedakan” atau khusus. Kedua, peran diorganisir di sekitar norma-norma dan nilai-nilai bersama yang menetapkan para aktor, hak dan kewajiban satu sarna lain, dan juga pada masyarakat. Ketiga, “sistem adalah menjaga batasan” sebab para aktor internal lebih terikat kuat satu sama lain dibanding aktor eksternal. Akhirnya, dan paling utama, suatu sistem sosial mempunyai kecenderungan ke arah keseimbangan.
Aspek Struktural
Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order), dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Ketertiban sosial akan dapat tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, di mana masing-masing individu akan mengetahui di mana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur tersebut. Struktur dalam keluarga dianggap dapat menjadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yang saling terkait, yaitu:[8]
1.    Status Sosial. Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya distruktur oleh tiga struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/isteri dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, anak sekolah, remaja, dan lain-lain.
2.    Fungsi sosial. Konsep fungsi sosial dalam teori ini adalah menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Parsons membagi dua peran orangtua dalam keluarga, yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu.
3.    Norma sosial. Norma Sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Seperti halnya fungsi sosial, norma sosial adalah standar tingkah laku yang diharapkan oleh setiap aktor.
Keluarga sebagai sebuah sistem akan mempunyai tugas seperti umumnya dihadapi oleh setiap sistem sosial: menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga inti seperti sistem sosial lainnya, mempunyai karakteristik yang berupa diferensiasi peran, dan struktur organisasi yang jelas.
Aspek Fungsional
Aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu, akan tidak lepas dari perannya yang diharapkan karena status sosialnya, yang semuanya ini berfungsi untuk kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut. Arti fungsi di sini dikaitkan deng an bagaimana sebuah sistem atau subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan solid.
Fungsi sebuah sistem mengacu pada kegunaan sebuah sistem untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya subsistem-subsistem lain dari sistem tersebut. Terjadinya anomali dalam sebuah subsistem, akan mempengaruhi berfungsinya sistem tersebut secara keseluruhan. Sebuah keluarga yang strukturya berubah, misalnya terjadinya perceraian antara suami isteri, masing-masing individu termasuk anak-anak mereka yang merupakan elemen-elemen dalam sistem keluarga akan terpengaruhi, bahkan akan membuat sistem keseluruhan tidak dapat berfungsi secara normal.
Tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi kalau ada satu posisi yang perannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena tidak adanya kesepakatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila ini terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan.[9]
2.    Perspektif Teori Konflik Sosial
Pendekatan sosial-konflik untuk menganalisis institusi keluarga adalah merupakan perkembangan yang lebih baru dalam teori keluarga, dibandingkan dengan teori struktural-fungsional. Dikaitkan bahwa keluarga inti berdasarkan pemilikan pribadi adalah sebagai penindasan wanita yang paling parah. Hubungan suami dan istri dalam keluarga dianalogikan oleh Engels sebagai hubungan antara kelas kapitalis dan kelas proletar.
Menurut perspektif konflik sosial, hubungan yang penuh konflik terjadi juga dalam keluarga. Sesuai dengan asumsinya, setiap individu cenderung memenuhi kepentingan pribadi (self-interesf)[10], dan konflik selalu mewarnai kehidupan keluarga. Kesatuan individu bukan dibentuk melalui konsensus atau asas harmoni, melainkan oleh pemaksaan. Peran yang dilembagakan oleh institusi keluarga, menurut persepsi konflik sosial telah menciptakan pola relasi yang opresif. Menurut teori ini, situasi konflik dalam kehidupan sosial tidak dianggap sebagai sesuatu yang abnormal atau disfungsional, tetapi bahkan dianggap sesuatu yang alami dalam setiap proses sosial. Adanya konflik bersumber dari struktur dan fungsi keluarga itu sendiri. Seorang suami dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga akan menimbulkan konflik terbuka dengan istrinya yang mempunyai kedudukan ibu rumah tangga. Karena pada asumsi dasarnya adalah, siapa yang mempunyai kekuasaan akan selalu dianggap menindas siapa yang berada di bawahnya.
Oleh karena itu, model konflik ini menuduh institusi keluarga sebagai institusi yang melestarikan pola relasi hierarkis yang dianggap menindas. Sebagai superstruktur institusi keluarga adalah agama, nilai-nilai dan budaya. Superstruktur dianggap memberi legitimasi pada pola relasi dan struktur yang hierarkis dalam keluarga.
Menurut perspektif sosial-konflik pada individu (wanita) harus dibebaskan dari belenggu keluarga, dan harus bertanggung jawab atas dirinya, sehingga para wanita dapat menjadi individu otonom dan mandiri, serta bebas untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Salah satu caranya adalah konsep kepala keluarga (suami) sebagai pemberi nafkah dan pelindung keluarga, harus diubah karena tidak sesuai dengan model konflik yang menempatkan individu sebagai atom yang terpisah dari keluarganya.
Penghapusan sistem struktur vertikal adalah tujuan utama dari semua gerakan feminisme. Menurut mereka, sistem struktur vertikal yang dilegitimasi oleh model struktural-fungsionalis, memberikan kedudukan pria yang Iebih menguntungkan dari pada wanita. Kesetaraan gender tidak akan pernah dicapai kalau sistem struktur vertikal ini masih terus berlaku. Oleh karena itu, ciri khas dari gerakan feminisme adalah ingin menghilangkan institusi keluarga, atau paling tidak mengadakan defungsionalisasi keluarga, atau mengurangi peran institusi keluarga dalam kehidupan masyarakat.[11]


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Kenikmatan dalam berrumah tangga diperoleh melalui hubungan harmonis dengan Allah yang tercermin antara lain dalam pelaksanaan sholat. Kebahagiaan yang hakiki dapat diperoleh dengan tuntunan al-Qur’an.
Al-Qur’an juga mengajarkan dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga terhadap pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis. Didikan yang baik dari orang tua dapat menumbuhkan karakter yang baik dan kecerdasan pada diri anak.
B.   Saran-saran


DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga (Tentang Ihwal Keluarga, Remaja dan Anak), Jakarta: Reneka Cipta, 2004
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Volume 8), Jakarta: Lentera Hati, 2002
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Volume 14), Jakarta: Lentera Hati, 2002
Bernard Raho, SVD. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007
Herien Puspitawati, Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, Bogor: Departemen IImu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, 2009
Herien Puspitawati, Teori Konflik Sosial dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, Bogor: Departemen IImu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, 2009


[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga (Tentang Ihwal Keluarga, Remaja dan Anak), (Jakarta: Reneka Cipta, 2004) hal. 22
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga, hal. 23
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga, hal. 23
[4] Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003) hal. 454-453
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Volume 8), (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 402-403
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Volume 14), (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 326-327
[7] Bernard Raho, SVD. Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007) hal. 48
[8] Herien Puspitawati, Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, (Bogor: Departemen IImu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, 2009) hal. 23
[9] Herien Puspitawati, Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, hal. 24
[10] Bernard Raho, SVD. Teori Sosiologi Modern, hal. 71
[11] Herien Puspitawati, Teori Konflik Sosial dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, (Bogor: Departemen IImu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, 2009), hal. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar