BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam sebuah tatanan
masyarakat. Oleh karena masyarakat adalah himpunan dari beberapa keluarga maka
baik buruknya sebuah masyarakat sangat bergantung kepada baik buruknya
keluarga. Keluarga yang baik adalah awal dari masyarakat yang sejahtera.
Sebaliknya, keluarga yang amburadul adalah pertanda hancurnya sebuah
masyarakat. Individu-individu yang baik akan membentuk keluarga yang harmonis.
Keluarga-keluarga yang harmonis akan mewujudkan masyarakat yang aman dan damai.
Selanjutnya masyarakat-masyarakat yang damai akan mengantarkan kepada negara
yang kokoh dan sejahtera. Maka, jika ingin mewujudkan negara yang kokoh dan
sejahtera bangunlah masyarakat yang damai. Dan jika ingin menciptakan
masyarakat yang damai binalah keluarga-keluarga yang baik dan harmonis.
Mengingat begitu pentingnya
peranan keluarga dalam menciptakan masyarakat yang baik dan sejahtera maka Islam
memberikan perhatian yang sangat besar pada pembinaan keluarga. Karena -seperti
disinggung di atas- seandainya instrumen terpenting dalam masyarakat ini tidak
dibina dengan baik dan benar, adalah mustahil mengharapkan terwujudnya sebuah
tatanan masyarakat idaman.
Dalam al-Qur’an terdapat
banyak ayat-ayat yang menerangkan konsep di dalam membangun keluarga yang
sejahtera. Al-Quran menginginkan semua manusia dan umat Islam khususnya hidup berumah tangga yang
bahagia seperti yang dicontohkan
oleh Nabi SAW.
B.
Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembaca memahami isi makalah,
kami kemukakan rumusan
masalah dari makalah ini, yakni menjelaskan konsep al-Qur’an dalam membangun
keluarga yang sejahtera serta membandingkan dengan beberapa teori sosial
Struktural Fungsional dan Konflik Sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keluarga
Pembicaraan
mengenai keluarga akan dibatasi pada keluarga batih. Keluarga batih terdiri
dari suami/ayah, istri/ibu dan anak-anak yang belum menikah. Lazimnya
dikatakan, bahwa kelurga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil
dalam masyarakat.[1]
Sebagai
unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat, keluarga batih mempunyai
peranan-peranan tertentu. Peranan-peranan itu adalah sebagai berikut:[2]
1.
Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi
pribadi-pribadi yang menjadi anggota, di mana ketentraman dan ketertiban
diperoleh dalam wadah tersebut.
2.
Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang
secara materil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya.
3.
Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi
kaidah-kaidah pergaulan hidup.
4.
Keluaraga batih merupakan wadah di amana manusia
mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia
mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
Dari
beberapa penjelasan keluarga di atas, nyatalah betapa pentingnya keluarga batih
terutama bagi perkembangan kepribadian seseorang. Gangguan pada pertumbuhan
kepribadian seseorang mungkin disebabkan pecahnya kehidupan keluarga batih
secara fisik maupun mental.[3]
B.
Ayat-ayat
Keluarga dalam al-Qur’an
1.
Surat Tahaa Ayat 132
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷É9sÜô¹$#ur $pkön=tæ ( w y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)G=Ï9 ÇÊÌËÈ
Artinya:
dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, kamilah yang memberi rezeki
kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.[4]
Arti
Kosa Kata
|
|
7n=÷dr&
|
Keluarga
|
É9sÜô¹$#
|
Bersabarlah
|
w y7è=t«ó¡nS
|
Kami tidak meminta kepadamu
|
$]%øÍ
|
Rezeki
|
Setelah
ayat sebelumnya memerintahkan untuk menyucikan diri melalui shalat dan
bertasbih memuji Allah, serta tidak mengarahkan pandangan kepada kenikmatan
duniawi guna meraihnya dengan mengorbankan kenikmatan ukhrawi, kini hal serupa
diperintahkan untuk disampaikan kepada keluarga.
Dapat
juga dikatakan bahwa pada ayat sebelumnya disebut tentang azjaw yang
dapat berarti pasangan dan bahwa orang-orang kafir memiliki pasangan-pasangan
yang mereka nikmati sebagai hiasan hidup, maka di sini disebut pasangan orang-orang
beriman dan keluarganya. Kenikmatan dari kehadiran mereka dalam satu rumah
tangga diperoleh melalui hubungan harmonis dengan Allah yang tercermin antara
lain dalam pelaksanaan sholat. Karena itu ayat ini memerintahkan nabi dan
setiap kepala keluarga muslim bahwa dan perintahkanlah keluargamu
melaksanakan sholat secara baik dan bersinambung pada setiap waktunya dan
bersungguh-sungguhlah engkau wahai Nabi Muhammad dalam bersabar atasnya,
yakni dalam melaksanakannnya. Kami tidak meminta kepadamu rezeki dengan
perintah shalat ini, atau Kami tidak membebanimu untuk menanggung rezeki bagi
dirimu dan keluargamu, Kami-lah yang memberi jaminan rezeki kepadamu.
Dan kesudahn yang baik di dunia dan akhirat adalah bagi orang-orang
yang menghiasi dirinya dengan ketakwaan.
Kata (7n=÷dr&)
ahlaka/keluarga jika ditinjau dari masa turunnya ayat ini, maka ia hanya
terbatas pada istri beliau Khadijah
ra. Dan beberapa putra beliau bersama Ali bin Abi Thalib yang beliau pe,uhara
sepeningga Abu Thalib. Tetapi bila dilihat dari penggunaan kata ahlaka yang
dapat mencakup keluarga besar, lalu menyadari perintah tersebut berlanjut
sepanjang hayat, maka ia dapat mencakup keluarga besar Nabi Muhammad termasuk
semua istri dan anak cucu beliau. Bahkan sementara ulama memperluasnya sehingga
mencakup seluruh umat beliau. Putra kandung nabi Nuh as. Tidak dinilai Allah
sebagai ahl/keluarga beliau dengan alasan tidak beramal shaleh
(baca QS. Hud 46). Dengan demikian, semua yang beramal shaleh dapat dinilai
termasuk keluarga beliau dank arena itu pula, Salman al-Farisi yang
tidak memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad saw. bahkan bukan orang
Arab, tetapi dari Persia, dijadikan Nabi Muhammad saw. sebagai ahl/keluarga dengan
sabdanya: “Salman dari (keluarga) kita, ahl al-Bait,” Ini karena keimanan dan
kesalehan beliau.[5]
2.
Surat at-Tahrim Ayat 6-7
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. w (#râÉtG÷ès? tPöquø9$# ( $yJ¯RÎ) tb÷rtøgéB $tB ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÐÈ
Artinya:
Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Hai orang-orang kafir,
janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang
kamu kerjakan.
Arti
Kosa Kata
|
|
(#þqè% ö/ä3|¡àÿRr&
|
Peliharalah
dirimu
|
ÔâxÏî
|
Kasar
|
×#yÏ©
|
Keras-keras
|
b÷rtøgéB
|
Dibalas
|
Dalam
suasana peristiwa yang terjadi yang di rumah tangga Nabi saw seperti diuraikan
oleh ayat-ayat sebelumnya, ayat di atas memberi tuntunan kepada kaum beriman
bahwa: Hai orang-orang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan
meneladani Nabi dan pelihara juga keluarga kamu yakni istri, anak-anak
dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu dengan membimbing dan
mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga batu-batu antara
lain yang dijadikan berhala-berhala. Di atasnya yakni yang menangani
neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya adalah malaikat-malaikat
yang kasar-kasar hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya
dalam melaksankan tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut
apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan
-kendati mereka kasar- tidak kurang dan tidak juga berlebih dari apa yang yang
diperintahkan oleh Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing
penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan
dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.
Dalam
penyiksaan itu, para malaikat tersebut senantiasa juga berkata: Hai
orang-orang kafir yang enggan mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, janganlah
kamu mengemukakan uzur yakni mengajukan dalih untuk memperingan kesalahan
dan siksa kamu pada hari ini. Karena kini bukan lagi masanya untuk
mmemohon ampun atau berdalih, ini adalh masa jaatuhnya sankksi, sesungguhnya
kamu saat ini hanya diberi balasan sesuai apa yang kamu dahulu
ketika hidup di dunia selalu kerjakan.
Ayat enam
di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah.
Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi
itu bukan berarti tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan
lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat yang serupa (misalnya ayat yang
memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini
berarti kedua oraang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga terhadap
pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas
kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah
tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang
harmonis.[6]
C. Analisis Keluarga dalam Teori Sosial
1.
Perspektif Teori Struktural Fungsional
Struktural Fungsional berpendapat bahwa Sosiologi adalah merupakan
suatu studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang terbentuk
atas bagian-bagian yang saling tergantung[7].
Struktural Fungsional sering menggunakan konsep sistem ketika
membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi dari keseluruhan
bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari sistem
listrik, atau sistem sosial, yang mengartikan bahwa fungsionalisme struktural
terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti
layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki
kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena sistem cenderung ke arah
keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi
secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring
dengan perkembangan kehidupan manusia.
Penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga
terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Keluarga adalah unit
universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat
belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit
keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti (meaning) yang
dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka
akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang
lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah.
Menurut pendukung teori ini, harmoni dalam pembagian dan
penyelenggaraan fungsi-peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak,
kewajiban, dan nilai-nilai bersama ini merupakan kondisi utama bagi
berfungsinya keluarga. Sebaliknya, keluarga yang tidak bisa berfungsi dengan
baik, karena tiadanya kondisi-kondisi tersebut akan menjadi produsen utama
anak-anak bermasalah.
Untuk
melaksanakan fungsinya secara optimal, yakni meningkatkan derajat
“fungsionalitas”nya, keluarga harus mempunyai struktur tertentu. Struktur
adalah pengaturan peran di mana sebuah sistem sosial tersusun. Istilah “sistem
sosial” sangat krusial bagi fungsionalis, yang merupakan konstruk yang lebih
luas di bawah struktur sehingga terjadi pengaturan peran. Suatu sistem seperti
keluarga mampunyai jenis peran yang berbeda. Pertama, sistem sosial seperti
keluarga mempunyai peran “yang dibedakan” atau khusus. Kedua, peran diorganisir
di sekitar norma-norma dan nilai-nilai bersama yang menetapkan para aktor, hak
dan kewajiban satu sarna lain, dan juga pada masyarakat. Ketiga, “sistem adalah
menjaga batasan” sebab para aktor internal lebih terikat kuat satu sama lain
dibanding aktor eksternal. Akhirnya, dan paling utama, suatu sistem sosial
mempunyai kecenderungan ke arah keseimbangan.
Aspek
Struktural
Keseimbangan
akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order), dan
selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar
lagi. Ketertiban sosial akan dapat tercipta kalau ada struktur atau strata
dalam keluarga, di mana masing-masing individu akan mengetahui di mana
posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur tersebut.
Struktur dalam keluarga dianggap dapat menjadikan institusi keluarga sebagai
sistem kesatuan. Ada tiga elemen utama dalam
struktur internal keluarga yang saling terkait, yaitu:[8]
1.
Status
Sosial. Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya distruktur oleh tiga
struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/isteri dan anak-anak. Struktur ini dapat
pula berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita,
anak sekolah, remaja, dan lain-lain.
2.
Fungsi
sosial. Konsep fungsi sosial dalam teori ini adalah menggambarkan peran dari
masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah
sistem sosial. Parsons membagi dua peran orangtua dalam keluarga, yaitu peran
instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran
emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu.
3.
Norma
sosial. Norma Sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana
sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Seperti halnya
fungsi sosial, norma sosial adalah standar tingkah laku yang diharapkan oleh
setiap aktor.
Keluarga
sebagai sebuah sistem akan mempunyai tugas seperti umumnya dihadapi oleh setiap
sistem sosial: menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan
solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga inti
seperti sistem sosial lainnya, mempunyai
karakteristik yang berupa diferensiasi peran, dan struktur organisasi yang
jelas.
Aspek Fungsional
Aspek
fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling
berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu, akan
tidak lepas dari perannya yang diharapkan karena status sosialnya, yang
semuanya ini berfungsi untuk kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan
pada sistem tersebut. Arti fungsi di sini dikaitkan deng an bagaimana sebuah sistem atau
subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan dapat menjadi sebuah
kesatuan solid.
Fungsi
sebuah sistem mengacu pada kegunaan sebuah
sistem untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada
berfungsinya subsistem-subsistem lain dari sistem tersebut. Terjadinya anomali
dalam sebuah subsistem, akan mempengaruhi berfungsinya sistem tersebut secara
keseluruhan. Sebuah keluarga yang strukturya berubah, misalnya terjadinya
perceraian antara suami isteri, masing-masing individu termasuk anak-anak
mereka yang merupakan elemen-elemen dalam sistem keluarga akan terpengaruhi,
bahkan akan membuat sistem keseluruhan tidak dapat berfungsi secara normal.
Tanpa ada
pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya,
maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem
yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi kalau ada satu posisi yang perannya
tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena tidak adanya kesepakatan
siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila ini terjadi, maka keberadaan
institusi keluarga tidak akan berkesinambungan.[9]
2.
Perspektif
Teori Konflik Sosial
Pendekatan
sosial-konflik untuk menganalisis institusi keluarga adalah merupakan
perkembangan yang lebih baru dalam teori keluarga, dibandingkan dengan teori
struktural-fungsional. Dikaitkan bahwa keluarga inti berdasarkan pemilikan
pribadi adalah sebagai penindasan wanita yang paling parah. Hubungan suami dan
istri dalam keluarga dianalogikan oleh Engels sebagai hubungan antara kelas
kapitalis dan kelas proletar.
Menurut
perspektif konflik sosial, hubungan yang penuh konflik terjadi juga dalam
keluarga. Sesuai dengan asumsinya, setiap individu cenderung memenuhi
kepentingan pribadi (self-interesf)[10],
dan konflik selalu mewarnai kehidupan keluarga. Kesatuan individu bukan
dibentuk melalui konsensus atau asas harmoni, melainkan oleh pemaksaan. Peran
yang dilembagakan oleh institusi keluarga, menurut persepsi konflik sosial
telah menciptakan pola relasi yang opresif. Menurut teori ini, situasi konflik
dalam kehidupan sosial tidak dianggap sebagai sesuatu yang abnormal atau
disfungsional, tetapi bahkan dianggap sesuatu yang alami dalam setiap proses
sosial. Adanya konflik bersumber dari struktur dan fungsi keluarga itu sendiri.
Seorang suami dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga akan menimbulkan
konflik terbuka dengan istrinya yang mempunyai kedudukan ibu rumah tangga.
Karena pada asumsi dasarnya adalah, siapa yang mempunyai kekuasaan akan selalu
dianggap menindas siapa yang berada di bawahnya.
Oleh
karena itu, model konflik ini menuduh institusi keluarga sebagai institusi yang
melestarikan pola relasi hierarkis yang dianggap menindas. Sebagai
superstruktur institusi keluarga adalah agama, nilai-nilai dan budaya.
Superstruktur dianggap memberi legitimasi pada pola relasi dan struktur yang
hierarkis dalam keluarga.
Menurut
perspektif sosial-konflik pada individu (wanita) harus dibebaskan dari belenggu
keluarga, dan harus bertanggung jawab atas dirinya, sehingga para wanita dapat
menjadi individu otonom dan mandiri, serta bebas untuk dapat mengaktualisasikan
dirinya. Salah satu caranya adalah konsep kepala keluarga (suami) sebagai
pemberi nafkah dan pelindung keluarga, harus diubah karena tidak sesuai dengan
model konflik yang menempatkan individu sebagai atom yang terpisah dari
keluarganya.
Penghapusan
sistem struktur vertikal adalah tujuan utama dari semua gerakan feminisme.
Menurut mereka, sistem struktur vertikal yang dilegitimasi oleh model
struktural-fungsionalis, memberikan kedudukan pria yang Iebih menguntungkan
dari pada wanita. Kesetaraan gender tidak akan pernah dicapai kalau sistem
struktur vertikal ini masih terus berlaku. Oleh karena itu, ciri khas dari
gerakan feminisme adalah ingin menghilangkan institusi keluarga, atau paling
tidak mengadakan defungsionalisasi keluarga, atau mengurangi peran institusi
keluarga dalam kehidupan masyarakat.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kenikmatan dalam berrumah tangga diperoleh melalui
hubungan harmonis dengan Allah yang tercermin antara lain dalam pelaksanaan
sholat. Kebahagiaan yang hakiki dapat diperoleh dengan tuntunan al-Qur’an.
Al-Qur’an juga mengajarkan dakwah dan pendidikan harus
bermula dari rumah. Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap
anak-anak dan juga terhadap pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing
bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk
menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta
dinaungi oleh hubungan yang harmonis. Didikan
yang baik dari orang tua dapat menumbuhkan karakter yang baik dan kecerdasan
pada diri anak.
B. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga (Tentang
Ihwal Keluarga, Remaja dan Anak), Jakarta: Reneka Cipta, 2004
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Volume 8), Jakarta:
Lentera Hati, 2002
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Volume 14), Jakarta:
Lentera Hati, 2002
Bernard Raho, SVD. Teori Sosiologi Modern,
Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007
Herien
Puspitawati, Teori
Struktural
Fungsional dan
Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, Bogor: Departemen IImu Keluarga dan
Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor, 2009
Herien
Puspitawati, Teori
Konflik Sosial dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, Bogor: Departemen IImu Keluarga dan
Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor, 2009
[1] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Keluarga (Tentang Ihwal Keluarga, Remaja
dan Anak), (Jakarta: Reneka Cipta, 2004) hal. 22
[3]
Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga, hal. 23
[4] Abul Fida
Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2003) hal. 454-453
[5]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Volume 8), (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hal. 402-403
[6]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Volume 14), (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hal. 326-327
[8] Herien Puspitawati, Teori Struktural Fungsional
dan
Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga,
(Bogor: Departemen IImu Keluarga dan
Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor, 2009) hal. 23
[9] Herien Puspitawati, Teori Struktural Fungsional
dan
Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, hal.
24
[11] Herien Puspitawati, Teori Konflik Sosial dan
Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, (Bogor: Departemen IImu Keluarga dan Konsumen Fakultas
Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor, 2009), hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar